Sabtu, 18 Januari 2014

Kerukunan Antar Umat Beragama

 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
 
Rukun itu Indah.....sebab kita dapat tersenyum
satu sama lain dan kita dapat saling menghargai
sekalipun warna kulit kita berbeda tetapi
di hadapan Tuhan kita adalah SAMA.


A.   Kerukunan Antar Umat Beragama
1.    Pengertian Kerukunan
“Rukun” dari Bahasa Arab “ruknun” artinya asas-asas atau dasar,  seperti rukun Islam. Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai,  tidak bertengkar, walaupun berbeda  agama. Kerukunan umat beragama  adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara Republik Indonesia (RI) (Ocw, 2011: 1).
Berdasarkan Permen No. 9 Tahun 2006 Pasal 1 ayat, kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Text Box: 8Menurut Ghazali (2005: 13) kerukunan mengandung pengertian kondisi sosial hubungan antar umat beragama. Proses “rukun” adalah upaya penyadaran dalam beragama dapat dilakukan melalui upaya penyamaan visi, pemahaman, dan kesadaran terhadap eksistensi agama-agama, yaitu setiap agama secara esensial memiliki nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh tiap-tiap pihak yang berbeda keyakinan. Melarang berbuat jahat dan mengharuskan berbuat baik adalah salah satu nilai universal yang diajarkan oleh semua agama.
Menurut Irwansyah (2008: 1) kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran   
Asyari Nur (2008: 1) menyebutkan kerukunan umat beragama adalah merupakan bagian dari kerukunan nasional. Ia menjadi inti dari kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan dalam masyarakat. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kerukunan antar umat beragama agama adalah asas-asas atau dasar yang dijadikan untuk menciptakan suasana damai, tentram, harmonis dalam masyarakat yang dilandasi sikap toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaram agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.

2.    Wadah Kerukunan Kehidupan Beragama
Menyadari fakta kemajemukan Indonesia itu, pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Saputra, 2008: 4).

3.    Peranan Pemerintah Dalam Membina Kehidupan Beragama
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946 menetapkan berdirinya Departemen Agama RI dengan tugas pokok, yaitu menyelenggarakan sebagian dari tugas umum pemerintah dan pembangunan dalam bidang agama. Penyelenggaraan tugas pokok Departemen Agama itu, diantara lain berbentuk bimbingan, pembinaan dan pelayanan terhadap kehidupan beragama, sama sekali tidak mencampuri masalah aqidah dan kehidupan intern masing-masing agama dan pemeluknya. Namun, pemerintah perlu mengatur kehidupan ekstern mereka, yaitu dalam hubungan kenegaraan dan kehidupan antar pemeluk agama yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buku Pedoman Dasar Kehidupan Beragama tahun 1985-1986 Bab IV halaman 49 disebutkan hal-hal sebagai berikut.
a.       Kerukunan hidup beragama adalah proses yang dinamis yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
b.      Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan:
1)  Menanamkan pengertian akan nilai kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.
2)  Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah kepadakerukunan hidup beragama.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup beragama.
c.       Kondisi umat beragama di Indonesia. Pelaksanaan pembinaan kerukunan hidup beragama dimaksudkan agar umat beragama mampu menjadi subjek pembangunan yang bertanggung jawab, khususnya pembinaan kerukunan hidup beragama.
Umat beragama Indonesia mempunyai kondisi yang positif untuk terus dikembangkan, yaitu:
1)      Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)      Kepercayaan kepada kehidupan di hari kemudian
3)      Memandang sesuatu selalu melihat dua aspek, yaitu aspek dunia dan akhirat.
4)      Kesediaan untuk hidup sederhana dan berkorban.
5)      Senantiasa memegang teguh pendirian yang berkaitan dengan aqidah agama (Saputera, 2008: 13).

4.    Hambatan-hambatan dalam Menciptakan Kerukunan Umat Beragama
Menurut Saputera (2008: 13) menyebutkan hambatan-hambatan yang terjadi dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama antara lain:
a.  Semakin meningkat kecenderungan umat beragama untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari pada mengejar kualitas umat beragama.
b.  Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya.
c.   Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu.
d.  Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah.  
e.    Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis.
Berbagai kondisi yang mendukung kerukunan hidup beragama maupun hambatan-hambatan yang ada, agar kerukunan umat beragama dapat terpelihara maka pemerintah dengan kebijaksanaannya memberikan pembinaan yang intinya bahwa masalah kebebasan beragama tidak membenarkan orang yang beragama dijadikan sasaran dakwah dari agama lain, pendirian rumah ibadah, hubungan dakwah dengan politik, dakwah dan kuliah subuh, batuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, peringatan hari-hari besar agama, penggunaan tanah kuburan, pendidikan agama dan perkawinan campuran.
Jika kerukunan intern, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara harmonis, niscaya perhatian dan konsentrasi pemerintah membangun Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT akan segera terwujud, berkat dukungan umat beragama yang mampu hidup berdampingan dengan serasi. Sekaligus merupakan contoh kongkret kerukunan hidup beragama bagi masyarakat dunia.
Sebagai tindak lanjut untuk memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk:
a.    Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
b.  Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
c.  Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
d.      Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
e.       Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
f.   Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
g.      Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
5.    Langkah-Langkah Strategis dalam Memantapkan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang mendasar yakni:
a.  Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama.
b. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap primordial.
c.       Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.
d.   Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.
6.    Strategi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
Adapun yang menjadi strategi dalam pembinaan kerukunan umat beragama dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk memperkokoh kerukunan nasional adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dalam tatanan konseptual kita semua mengetahui bahwa agama memiliki nilai-nilai universal yang dapat mengikat dan merekatkan berbagai komunitas sosial walaupun berbeda dalam hal suku bangsa, letak geografis, tradisi dan perbedaan kelas sosial.
Hanya saja dalam implementasi, nilai-nilai agama yang merekatkan berbagai komunitas sosial tersebut sering mendapat benturan, terutama karena adanya perbedaan kepentingan yang bersifat sosial ekonomi maupun politik antar kelompok sosial satu dengan yang lain.
Strategi yang perlu dilakukan dengan kaitan di atas adalah sebagai berikut:
a.       Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan kita daya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot/warna tersendiri dalam menciptakan Ukhuwah (persatuan dan kesatuan) yang hakiki tentang tugas dan fungsi masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat kerukunan antar umat beragama.
b.      Membimbing umat beragama agar makin meningkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun baik intern maupun antar umat beragama.
c.       Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut agama.
d.      Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu agama.
e.       Mendorong peningkatan pengamalan dan penunaian ajaran agama.
f.       Melindungi agama dari penyalah gunaan dan penodaan.
g.      Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hukum bersama.
h.      Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog dan kerjasama antara pimpinan majelis-majelis dan organisasi-organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
i.        Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.
j.        Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (pemimpin agama dan pemimpin masyarakat lokal) untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat bawah.
k.      Fungsionalisasi pranata lokal. seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan umat beragama.
l.        Mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan sebagainya.
m.    Bersama-sama para pimpinan majelis-majelis agama, melakukan kunjungan bersama-sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.
n.      Melakukan mediasi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang dilanda konflik dalam rangka untuk mencari solusi bagi tercapainya rekonsiliasi sehingga konflik bisa dihentikan dan tidak berulang di masa depan.
o.      Memberi sumbangan dana (sesuai dengan kemampuan) kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal mereka karena dilanda konflik sosial dan etnis yang dirasakan pula bernuansakan keagamaan.
p.      Membangun kembali sarana-sarana ibadah (Gereja dan Mesjid) yang rusak di daerah-daerah yang masyarakatnya terlibat konflik, sehingga mereka dapat memfungsikan kembali rumah-rumah ibadah tersebut.
Akhirnya dalam memelihara kerukunan beragama, setidaknya ada 6 dosa besar yang harus kita hindari (the six deadly sins in maintaining relegious harmony), yaitu :
a.       Jangan berperilaku yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama.
b.      Jangan tidak perduli terhadap kesulitan orang lain walaupun berbeda agama dan keyakinan.
c.       Jangan mengganggu orang lain yang berbeda agama dan keyakinan.
d.       Jangan melecehkan agama dan keyakinan orang lain.
e.       Jangan menghasut atau menjadi provokator bagi timbulnya kebencian dan permusuhan antar umat beragama.
f.       Jangan saling curiga tanpa alasan yang benar. (Saputra, 2008: 20)
B.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerukunan Antar Umat Beragama
1.    Kesadaran Beragama
Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilaian, keputusan, dan interaksi dengan orang lain, kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesadaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang (Qyonglee, 2008: 1).
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama. Jalaludin dalam Pongkalero (2012: 2) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang.
Sedangkan menurut Abdul Azia Ahyadi dalam Pongkalero (2012: 2), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada Tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan sebagainya.
Menurut Daradjat (1969: 59) menyebutkan kesadaran beragama memberikan bimbingan hidup dari yang sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, mulai dari hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan hubungan dengan Allah, bahkan dengan alam semesta dan makhluk yang lain.
Menurut Ghazali (2005: 15) mengemukakan dari sisi teoritis nilai-nilai esensial dan universal agama secara moral harus mendasari tindakan manusia dalam beragama. Nilai esensial tindakan manusia beragama akan muncul jika memiliki kesadaran beragama. Setiap manusia tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan keagamaan tania didasari oleh adanya kesadaran untuk melakukan tindakan-tindakan agama. Kesadaran beragama muncul dari pengetahuan, pengalaman, dan kebiasaan-kebiasaan melakukan introspeksi,    re-evaluasi, dan relevansi tindakan-tindakan keagamaan dengan lingkungan sekitarnya. Yang menjadi tuntutan kita bukanlah sekedar pengetahuan agama, tetapi jauh dari itu adalah menanamkan kesadaran beragama. Sebab kesadaran beragama menjadi nilai yang hakiki dari kemanusiaan yang universal.
2.    Menghargai Kemajemukan (Pluralitas)
Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya (Imarah, 1999: 9)
Menurut Taher (2012: 1) menyebutkan kemajemukan yang memegang nilai-nilai toleransi dan pengakuan kesamaan substansi agama tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran dan pengakuan itu hanyalah suatu upaya pencarian kalimatun sawa (titik temu) semua ajaran agama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling menghargai dan menghormati. Bahkan sejatinya antar-pemeluk agama itu mampu membangun kerjasama yang sinergis dalam mewujudkan nilai-nilai kebajikan sosial.
Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Menurut Madjid pluralisme (2011: 1) itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.
Pada dasarnya pluralisme memberikan seseorang untuk meyakini bahwa ajaran agamanya adalah yang paling mulia, namun keyakinannya itu tidak harus membuatnya arogan dan merendahkan agama lain. Dengan kata lain, dalam sisi yang lebih substantif, pluralis mendorong untuk membuka diri terhadap dialog dan saling menukar informasi tentang kebajikan dan anti terhadap permusuhan. Secara pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya (Satria, 2012: 1)

3.   Toleransi Antar Umat Bergama
Toleransi berasal dari kata “Tolerare” yang berasal dari bahasa latin yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat, (Cahyu, 2012: 1).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. (Marhijanto, 1995: 550).
Toleransi dalam bahasa Arab biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain, (Vindiana, 2009: 2).
Toleransi dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi, atau sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan, keduanya menyangkut hubungan antar sesama manusia. Jika tri kerukunan (antar umat beragama, intern umat seagama, dan umat beragama dengan pemerintah) terbangun serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan sehari-hari, maka akan muncul toleransi antar umat beragama. Atau, jika toleransi antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan masyarakat yang rukun satu sama lain.
Toleransi antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain; menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain, tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agama-agama akan mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga terciptanya suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat serta bangsa.
Agama adalah elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan untuk beragama (dan tidak beragama, serta berpindah agama) harus dihargai dan dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah, membentuk institusi sosial, publikasi, dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.
Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama, pelanggaran terhadap hak untuk beragama, paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya (Cahyu, 2012: 7).

4. Dasar dan Kebijakan Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan Kehidupan Beragama

Kehidupan beragama di Inonesia secara yuridis  mempunyai landasan yang kuat dalam hukum ketatanegaraan sebagai mana termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama atau bukan negara teokrasi dan bukan pula suatu negara sekularistik. Sedangkan ayat dua mengandung pengertian : (1) Negara menjamin kemerdekaan, tekandung arti bahwa menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi kesempatan dan mendorong tumbuhnya kehidupan agama yang sehat (2) negara tidak punya kompentensi untuk memaksa agama sebagaimana agama sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluknya  (3) Kebebasan  beragama merupakan hak asasi yang paling mendasar dan (4) karena agama itu sendiri bersifat universal (Hamidi dalam Latifah, 2011: 1)
Berdasarkan kepada Pasal 29 UUD 1945 beserta tafsirnya tersebut, pemerintah merasa berkewajiban untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia dengan membentuk Departemen Agama. Campur tangan pemerintah dalam urusan agama ini mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh diantaranya adalah Hatta dan Daliar Noor. Menurut Hatta masalah agama dan negara harus dipisahkan sedangkan menurut Daliar Noor berpendapat bahwa intervensi negara/pemerintah dalam masalah agama sebatas lingkup administrasi (Hamidi, 2001). Pendapat senada dikemukakan oleh Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi (2001) yang menyatakan intervensi negara atau pemerintah terhadap agama terbatas pada masalah administrasi belaka meliputi: fasilitas, sarana dan prasarana. Jadi bukan pada materi agamanya atau dengan kata lain negara tidak mencampiri dan tidak ingin mencampuri urusan syari’ah dan ibadah agama-agama di Indonesia.
Pembangunan kehidupan beragama di Indonesia bertujuan agar kehidupan beragama itu selalu menuju  ke arah yang positif dan menghindari serta mengurangi ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama, terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama, karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan antar umat beragama.
Sebagai realisasi dari kebijaksanaan tersebut adalah terbitnya peraturan pemerintah antara lain, yaitu :
a.       Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-pemeluknya.
b.      Keputusan Menteri Agama No. 70 dan 77 tentang Penyiaran dan Penyebaran Agama dan tentang Bantuan Asing Bagi Lembaga Keagamaan  di Indonesia.
c.       Keputusan Menteri Agama Nomor:44 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Dakwah Agama dan Kuliah Subuh melalui Radio
d.      Keputusan Bersama Bersama Menteri  Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan bantuan Luar negeri Kepada lembaga keagamaan di Indonesia
e.       Surat Edaran Menteri  Agama No: MA/432/1981 perihal Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar keagamaan
f.       Instruksi Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1995 Tentang Tindak lanjut Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor. 01/BER/MDN-MAG/1969 di Daerah. Untuk mengatasasi ketegangan hubungan antar ummat beragama yang sering terjadi di Indonesia pemerintah dalam hal ini Departemen Agama juga menetapkan arah kehidupan intern dan antar  ummat beragama pada tiga bentuk  yang dikenal  Tri Kerukunan  yaitu: Kerukunan Hidup Intern Umat Beragama, Kerukunan Hidup Antar Ummat Beragama dan Kerukunan Hidup antar ummat Beragama dengan Pemerintah.
g.      Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, (Latifah, 2011: 2).
Banyaknya aturan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama tersebut selain berdampak positif yaitu mengurangi potensi konflik antar agama sekaligus juga menunjukkan seberapa jauh campur tangan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama tersebut memunculkan berbagai persoalan yang dianggap merugikan hak hidup masing-masing agama.

5.  Dialog Antar Umat Beragama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama
Menyadari akan realitas  multikultural yang ada dan belajar dari pengalaman sejarah masa lalu serta berbagai kejadian di beberapa daerah, maka wadah kerjasama yang kemudian dikukuhkan berdasarkan  Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah  Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menjadi sangat penting untuk direalisasikan di daerah, dalam bentuk  Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB.
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis pada pemuliaan nilai-nilai agama, FKUB memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam berperan serta membangun daerah masing-masing ditengah krisis multidimensional yang tengah terjadi. Disadari bahwa krisis multidimensional telah membawa dampak yang bersifat multidimensional pula. Krisis ekonomi, politik dan moral, berimplikasi pada ketegangan sosial, stress sosial, merenggangnya kohesi sosial bahkan prustasi sosial, begitupun terhadap dekadensi moral. Fenomena ini secara fsikologis dan sosiologis berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sosial dikalangan umat beragama. Terjadinya konflik sosial, meningkatnya angka bunuh diri, merajalelanya korupsi merupakan persoalan serius yang harus dicarikan solusinya. Peran tokoh agama yang diharapkan dapat memberikan pencerdasan spiritual menjadi sangat penting.
Untuk itu ada dua peran yang paralel yang dapat dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama: forum hendaknya dapat menjadi jembatan penghubung di internal umat masing-masing. Artinya, masing-masing agama secara vertikal memiliki keyakinan, cara, etika, susila yang dimiliki dan bersifat hakiki. Hal ini merupakan pembeda antara agama yang satu dengan yang lainnya yang harus dihormati. Oleh karena itu FKUB melalui perwakilan di masing-masing agama harus dapat menularkan kerukunan di internal umat, dan menjaga aspek sakralisasi pelaksanaan tradisi keberagamaan masing-masing dengan tetap berpegang pada kaidah agama.
Secara horizontal, disamping dintern, maka dalam perspektif sosiologi agama, hubungan yang bersifat sosial dengan umat beragama lainnya perlu dijaga dan dikembangkan. Dalam konteks inilah FKUB dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai : 
1.   Sebagai wahana komunikasi, interaksi antara satu dengan yang lainnya dalam memberikan informasi terhadap tafsir agama masing-masing, sehingga tercipta suasana saling memahami dan saling menghormati,
2.   Sebagai wahana memediasi setiap persoalan yang mengarah pada terjadinya konflik baik yang bersifat laten maupun manifest.
3. Sebagai media harmonisasi hubungan satu dengan yang lain dalam mengkomunikasikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan.
4.   Melakukan sosialisasi kepada masing-masing umat beragama agar dalam kehidupan sosial tidak bersifat eksklusif sehingga dapat terbangun kohesi sosial dikalangan umat beragama.
5.  Membantu pemerintah daerah dalam menyukseskan program-program pembangunan.
6.      Bersama-sama pemerintah dan aparat keamanan ikut menjaga iklim sosial dan politik yang kondusif. Dan tentunya banyak hal lagi yang dapat dikerjakan dengan selalu bersinergi dengan kekuatan-kekuatan sosial yang ada di daerah, (Wisnumurti, 2011: 3). 

Sumber Bacaan :
Asyari Nur. 2008. Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama. (online) Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=355 (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Basuni, Maftuh. 2008. LDII Hadiri Seminar Kerukunan Kerumunan Umat Beragama. (online) Tersedia: http://ldii.info/ldii-hadiri-seminar-kerukunan-umat-beragama.html. (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Chayu. 2012. Toleransi Antar Umat Beragama. (online) tersedia: http://chayu-21.com/2012/03/toleransi-antar-umat-beragama.html (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik. 2006. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Jakarta.
 Daradjat, Zakiah. 1969. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Toko Gunung Agung.
 Ghalidan. 2010. Kerukunan Antar Umat  Beragama. (online) tersedia: http://galihdanary.wordpress.com/2010/12/02/kerukunan-antar-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Ghazali, Adeng M. 2004. Ilmu Studi Agama. Bandung: Pustaka Setia.
 Irwansyah. 2008. Analisis tentang Kerukunan Umat Beragama. (online) Tersedia: http://jariksumut.wordpress.com/2008/06/22/analisis-tentang-kerukunan-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Imarah, Muhammad, 1999. Islam dan Pluralitas. Jakarta: Gema Insani.
 Iskandar, 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Jakarta: Gaung Persada.
 Lathifah, Jasmin. 2011. Kebijakan Pemerintah Tentang Kehidupan Beragama (online) Tersedia: http://haniy-th.com/2011/11/kebijakan-pemerintah-tentang-kehidupan-beragama.html (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Madjid, Nurcholis. 2011. (online) tersedia:  http://www.scribd.com/doc/56983081/ makalah-pluralisme (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Marhijanto, Bambang. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur.
 Moleong, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Ocw. 2011. Kerukunan Umat Beragama. (online) tersedia: http://ocw.gunadarma.ac.id/ course/psychology/study-program-of-psychology-s1/pendidikan-agama-islam/kerukunan-umat-beragama. (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Qyonglee. 2010. Kesadaran Beragama. (online) tersedia: http://qyonglee.multiply.com/ journal/item/32?&showinterstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfa Beta.
 Setabasri. 2012. Indonesia adalah Masyarakat Majemuk. (online) Tersedia: http://setabasri01.com/2012/04/indonesia-adalah-masyarakat-majemuk.html (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Saputera, Agus. 2008. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. (online) Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel& id=499 (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Satria. 2012. Pengertian Pluralisme. (online) Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2308560-pengertian-pluralisme/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Taher, Tarmizi. 2012. Mengargai Kemajemukan. (online) tersedia:  http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=304012 (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Vidiana, Jeny P. 2009. Toleransi Antar Umat Beragama. (online) Tersedia: http://tafany.wordpress.com/2009/06/12/toleransi-antar-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
 Wisnumurti. A.A.G.O. 2011. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama  Dalam Memelihara dan Memantapkan Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Tabanan. (online) tersedia: http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/63-peranan-forum-kerukunan-umat-beragama-dalam-memelihara-dan-memantapkan-kerukunan-umat-beragama-di-kabupaten-tabanan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar