FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFhiElihVuQL9S8yJy3Li9WuAYWVDWL1SA1M6kpBGzaWR3TNTLyQqTuuJ_yXxVVdoSlRRifkoP9bQ0N88lmx8FWMp3MGOV1mmIAtfDCJa_NnRX-4-GYVkpJD1pSCdGAj8LMoJd70wvwQKu/s1600/senyum.jpg)
satu sama lain dan kita dapat saling menghargai
sekalipun warna kulit kita berbeda tetapi
di hadapan Tuhan kita adalah SAMA.
A. Kerukunan Antar Umat
Beragama
1. Pengertian Kerukunan
“Rukun” dari Bahasa Arab “ruknun” artinya asas-asas atau
dasar, seperti rukun Islam. Rukun dalam
arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan hidup umat beragama artinya
hidup dalam suasana damai, tidak
bertengkar, walaupun berbeda agama.
Kerukunan umat beragama adalah program
pemerintah meliputi semua agama, semua warga negara Republik
Indonesia (RI) (Ocw,
2011: 1).
Berdasarkan
Permen No. 9 Tahun 2006 Pasal 1 ayat, kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
![Text Box: 8](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image001.png)
Menurut Irwansyah
(2008: 1) kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh
muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan
“kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran
Asyari Nur (2008: 1) menyebutkan kerukunan umat beragama adalah merupakan bagian
dari kerukunan nasional. Ia menjadi inti dari kedamaian, ketentraman, dan
keharmonisan dalam masyarakat. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kerukunan antar umat beragama agama adalah asas-asas atau dasar yang dijadikan untuk
menciptakan suasana damai, tentram, harmonis dalam masyarakat yang dilandasi
sikap toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaram agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Wadah
Kerukunan Kehidupan Beragama
Menyadari fakta kemajemukan Indonesia itu,
pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan
intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat
beragama dengan pemerintah.
Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam
kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti
dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam
menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada
gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan
stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Saputra,
2008: 4).
3. Peranan
Pemerintah Dalam Membina Kehidupan Beragama
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan, pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946 menetapkan berdirinya
Departemen Agama RI dengan tugas pokok, yaitu menyelenggarakan sebagian dari
tugas umum pemerintah dan pembangunan dalam bidang agama. Penyelenggaraan tugas
pokok Departemen Agama itu, diantara lain berbentuk bimbingan, pembinaan dan
pelayanan terhadap kehidupan beragama, sama sekali tidak mencampuri masalah
aqidah dan kehidupan intern masing-masing agama dan pemeluknya. Namun,
pemerintah perlu mengatur kehidupan ekstern mereka, yaitu dalam hubungan
kenegaraan dan kehidupan antar pemeluk agama yang berada dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Buku Pedoman Dasar Kehidupan Beragama tahun
1985-1986 Bab IV halaman 49 disebutkan hal-hal sebagai berikut.
a.
Kerukunan hidup beragama adalah proses yang
dinamis yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.
b.
Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya
yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung
jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengan:
1) Menanamkan pengertian akan nilai kehidupan
bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup beragama.
2) Mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu
menunjang sikap dan tingkah laku yang mengarah kepadakerukunan hidup beragama.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah
laku yang mewujudkan kerukunan hidup beragama.
c.
Kondisi umat beragama di Indonesia. Pelaksanaan
pembinaan kerukunan hidup beragama dimaksudkan agar umat beragama mampu menjadi
subjek pembangunan yang bertanggung jawab, khususnya pembinaan kerukunan hidup
beragama.
Umat beragama Indonesia mempunyai kondisi yang positif untuk terus
dikembangkan, yaitu:
1)
Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Kepercayaan kepada kehidupan di hari kemudian
3)
Memandang sesuatu selalu melihat dua aspek,
yaitu aspek dunia dan akhirat.
4)
Kesediaan untuk hidup sederhana dan berkorban.
5)
Senantiasa memegang teguh pendirian yang
berkaitan dengan aqidah agama (Saputera, 2008: 13).
4. Hambatan-hambatan
dalam Menciptakan Kerukunan Umat Beragama
Menurut Saputera (2008: 13) menyebutkan
hambatan-hambatan yang terjadi dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama
antara lain:
a. Semakin meningkat kecenderungan umat beragama
untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari
pada mengejar kualitas umat beragama.
b. Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa
umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan
dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya.
c. Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa
memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat
beragama yang memang mayoritas di tempat itu.
d. Menggunakan mayoritas sebagai sarana
penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah.
e. Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan
kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis.
Berbagai kondisi yang mendukung kerukunan hidup
beragama maupun hambatan-hambatan yang ada, agar kerukunan umat beragama dapat
terpelihara maka pemerintah dengan kebijaksanaannya memberikan pembinaan yang
intinya bahwa masalah kebebasan beragama tidak membenarkan orang yang beragama
dijadikan sasaran dakwah dari agama lain, pendirian rumah ibadah, hubungan
dakwah dengan politik, dakwah dan kuliah subuh, batuan luar negeri kepada
lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, peringatan hari-hari besar agama,
penggunaan tanah kuburan, pendidikan agama dan perkawinan campuran.
Jika kerukunan intern, antar umat beragama, dan
antara umat beragama dengan pemerintah dapat direalisasikan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara secara harmonis, niscaya perhatian dan konsentrasi
pemerintah membangun Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai
Allah SWT akan segera terwujud, berkat dukungan umat beragama yang mampu hidup
berdampingan dengan serasi. Sekaligus merupakan contoh kongkret kerukunan hidup
beragama bagi masyarakat dunia.
Sebagai tindak lanjut untuk memantapkan kerukunan hidup
umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya
kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk:
a. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan
antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
b. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional
dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup
rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan
sikap toleransi.
c. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang
kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta
pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar
umat beragama.
d.
Melakukan eksplorasi secara luas tentang
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia
yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan
prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan
memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
e.
Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang
implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan,
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
maupun sosial keagamaan.
f. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat
beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama
lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu.
g.
Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita
dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan
mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
5. Langkah-Langkah Strategis dalam Memantapkan
Kerukunan Hidup Umat Beragama
Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan
kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang
mendasar yakni:
a. Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah
dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan
komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama.
b. Masyarakat umat beragama di Indonesia yang
sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran
agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap
primordial.
c.
Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan
hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi
kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat
adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.
d.
Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap
wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar
umat beragama.
6. Strategi Pembinaan Kerukunan
Umat Beragama
Adapun yang menjadi strategi dalam pembinaan
kerukunan umat beragama dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk
memperkokoh kerukunan nasional adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
Dalam tatanan konseptual kita semua mengetahui bahwa agama memiliki nilai-nilai
universal yang dapat mengikat dan merekatkan berbagai komunitas sosial walaupun
berbeda dalam hal suku bangsa, letak geografis, tradisi dan perbedaan kelas
sosial.
Hanya saja dalam implementasi, nilai-nilai agama
yang merekatkan berbagai komunitas sosial tersebut sering mendapat benturan,
terutama karena adanya perbedaan kepentingan yang bersifat sosial ekonomi
maupun politik antar kelompok sosial satu dengan yang lain.
Strategi
yang perlu dilakukan dengan kaitan di atas adalah
sebagai berikut:
a.
Memberdayakan institusi keagamaan, artinya
lembaga-lembaga keagamaan kita daya gunakan secara maksimal sehingga akan
mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu
pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot/warna tersendiri
dalam menciptakan Ukhuwah (persatuan dan kesatuan) yang hakiki tentang tugas
dan fungsi masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat
kerukunan antar umat beragama.
b.
Membimbing umat beragama agar makin meningkat
keimanan dan ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun
baik intern maupun antar umat beragama.
c.
Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah
bagi para penganut agama.
d.
Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah
sesuatu agama.
e.
Mendorong peningkatan pengamalan dan penunaian
ajaran agama.
f.
Melindungi agama dari penyalah gunaan dan
penodaan.
g.
Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama
untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hukum
bersama.
h.
Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan
terciptanya dialog dan kerjasama antara pimpinan majelis-majelis dan
organisasi-organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan
kerukunan antar umat beragama.
i.
Mengembangkan wawasan multi kultural bagi
segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan
riset aksi.
j.
Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia
(pemimpin agama dan pemimpin masyarakat lokal) untuk ketahanan dan kerukunan
masyarakat bawah.
k.
Fungsionalisasi pranata lokal. seperti adat
istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan umat
beragama.
l.
Mengundang partisipasi semua kelompok dan
lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing
melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan
sebagainya.
m.
Bersama-sama para pimpinan majelis-majelis
agama, melakukan kunjungan bersama-sama ke berbagai daerah dalam rangka
berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang
pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.
n.
Melakukan mediasi bagi kelompok-kelompok
masyarakat yang dilanda konflik dalam rangka untuk mencari solusi bagi
tercapainya rekonsiliasi sehingga konflik bisa dihentikan dan tidak berulang di
masa depan.
o.
Memberi sumbangan dana (sesuai dengan kemampuan)
kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal
mereka karena dilanda konflik sosial dan etnis yang dirasakan pula bernuansakan
keagamaan.
p.
Membangun kembali sarana-sarana ibadah (Gereja
dan Mesjid) yang rusak di daerah-daerah yang masyarakatnya terlibat konflik,
sehingga mereka dapat memfungsikan kembali rumah-rumah ibadah tersebut.
Akhirnya dalam memelihara kerukunan beragama, setidaknya ada 6
dosa besar yang harus kita hindari (the
six deadly sins in maintaining relegious harmony), yaitu :
a.
Jangan berperilaku yang sebenarnya bertentangan
dengan ajaran agama.
b.
Jangan tidak perduli terhadap kesulitan orang
lain walaupun berbeda agama dan keyakinan.
c.
Jangan mengganggu orang lain yang berbeda agama
dan keyakinan.
d.
Jangan
melecehkan agama dan keyakinan orang lain.
e.
Jangan menghasut atau menjadi provokator bagi
timbulnya kebencian dan permusuhan antar umat beragama.
f.
Jangan saling curiga tanpa alasan yang benar.
(Saputra, 2008: 20)
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerukunan
Antar Umat Beragama
1. Kesadaran Beragama
Kesadaran diri merupakan kondisi
dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh
terhadap penilaian, keputusan, dan interaksi dengan orang lain, kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan,
keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem
mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga
manusia, maka kesadaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif,
kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam
pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada Tuhan. Aspek kognitif
nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik
nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan
sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu
sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang (Qyonglee, 2008: 1).
Kesadaran beragama merupakan bagian
atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi
atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.
Jalaludin dalam Pongkalero (2012: 2) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupakan kemantapan
jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan
mereka. Sikap
keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan
dan pemikiran yang matang.
Sedangkan menurut Abdul Azia Ahyadi dalam Pongkalero (2012: 2),
kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan,
sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari
kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang
terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan
hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada Tuhan,
juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan
sholat, puasa dan sebagainya.
Menurut Daradjat (1969: 59)
menyebutkan kesadaran beragama memberikan bimbingan hidup dari yang
sekecil-kecilnya sampai pada yang sebesar-besarnya, mulai dari hidup pribadi,
keluarga, masyarakat dan hubungan dengan Allah, bahkan dengan alam semesta dan
makhluk yang lain.
Menurut Ghazali (2005: 15)
mengemukakan dari sisi teoritis nilai-nilai esensial dan universal agama secara
moral harus mendasari tindakan manusia dalam beragama. Nilai esensial tindakan
manusia beragama akan muncul jika memiliki kesadaran beragama. Setiap manusia
tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan keagamaan tania didasari oleh adanya
kesadaran untuk melakukan tindakan-tindakan agama. Kesadaran beragama muncul
dari pengetahuan, pengalaman, dan kebiasaan-kebiasaan melakukan introspeksi, re-evaluasi, dan relevansi tindakan-tindakan keagamaan dengan
lingkungan sekitarnya. Yang menjadi tuntutan kita bukanlah sekedar pengetahuan
agama, tetapi jauh dari itu adalah menanamkan kesadaran beragama. Sebab
kesadaran beragama menjadi nilai yang hakiki dari kemanusiaan yang universal.
2. Menghargai Kemajemukan (Pluralitas)
Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh
keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud
atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali
sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan
yang merangkum seluruh dimensinya (Imarah, 1999: 9)
Menurut Taher (2012:
1) menyebutkan kemajemukan yang memegang nilai-nilai toleransi dan
pengakuan kesamaan substansi agama tidak berarti bahwa semua agama dipandang
sama. Sikap toleran dan pengakuan itu hanyalah suatu upaya pencarian kalimatun sawa (titik temu) semua ajaran
agama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling menghargai dan
menghormati. Bahkan sejatinya antar-pemeluk agama itu mampu membangun kerjasama
yang sinergis dalam mewujudkan nilai-nilai kebajikan sosial.
Pluralisme merupakan suatu gagasan yang mengakui kemajemukan realitas. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan mengenal keberagaman di segala bidang kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dan sebagainya. Menurut Madjid
pluralisme (2011: 1) itu tidak sekadar mengakui pluralitas keragaman dan perbedaan
akan tetapi gerakan yang aktif merangkai keragaman tersebut untuk tujuan-tujuan sosial
yang luhur yaitu untuk kebersamaan dan peradaban.
Pada dasarnya pluralisme memberikan seseorang
untuk meyakini bahwa ajaran agamanya adalah yang paling mulia, namun
keyakinannya itu tidak harus membuatnya arogan dan merendahkan agama lain.
Dengan kata lain, dalam sisi yang lebih substantif, pluralis mendorong untuk
membuka diri terhadap dialog dan saling menukar informasi tentang kebajikan dan
anti terhadap permusuhan. Secara pluralisme dapat
diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran,
peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman
pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman,
setidaknya menurut logika para pengikutnya (Satria, 2012: 1)
3. Toleransi
Antar Umat Bergama
Toleransi berasal dari kata
“Tolerare” yang berasal dari bahasa
latin yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi
secara luas adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak
menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap
tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam
konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat
diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat,
(Cahyu, 2012: 1).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang
bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. (Marhijanto, 1995: 550).
Toleransi dalam bahasa Arab biasa disebut “ikhtimal,
tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah
hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh)
beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan
seseorang atau kelompok lain,
(Vindiana, 2009: 2).
Toleransi dan kerukunan
antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu
sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi, atau sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan, keduanya menyangkut
hubungan antar sesama manusia. Jika tri
kerukunan (antar umat beragama, intern umat seagama, dan umat
beragama dengan pemerintah) terbangun serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan
sehari-hari, maka akan muncul toleransi
antar umat beragama. Atau, jika toleransi antar umat beragama dapat
terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan masyarakat yang rukun
satu sama lain.
Toleransi antar umat
beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan
umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan lain-lain.
Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain; menghormati ibadah
yang dijalankan oleh orang lain, tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran
agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama
menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agama-agama akan mampu untuk
melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga terciptanya
suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat serta bangsa.
Agama adalah elemen
fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan untuk
beragama (dan tidak beragama, serta berpindah agama) harus dihargai dan
dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan
arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah, membentuk institusi sosial, publikasi, dan kontak dengan individu
dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.
Kebebasan beragama,
menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama, pelanggaran terhadap hak
untuk beragama, paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk
mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari,
yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang,
perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan
kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para
pengikut-pengikutnya (Cahyu, 2012: 7).
4. Dasar dan Kebijakan Kebijakan
Pemerintah Dalam Pembangunan Kehidupan Beragama
Kehidupan beragama di Inonesia secara
yuridis mempunyai landasan yang kuat dalam hukum ketatanegaraan
sebagai mana termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 yang
menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang beragama atau bukan negara teokrasi dan bukan pula suatu negara
sekularistik. Sedangkan ayat dua mengandung pengertian : (1) Negara menjamin
kemerdekaan, tekandung arti bahwa menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi kesempatan dan
mendorong tumbuhnya kehidupan agama yang sehat (2) negara tidak punya
kompentensi untuk memaksa agama sebagaimana agama sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk
memeluknya (3)
Kebebasan beragama merupakan hak asasi yang paling mendasar dan (4) karena agama itu sendiri bersifat universal (Hamidi dalam Latifah, 2011: 1)
Berdasarkan kepada Pasal 29 UUD 1945
beserta tafsirnya tersebut, pemerintah merasa berkewajiban untuk mengatur
kehidupan beragama di Indonesia dengan membentuk Departemen Agama. Campur
tangan pemerintah dalam urusan agama ini mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh
diantaranya adalah Hatta dan Daliar Noor. Menurut Hatta masalah agama dan
negara harus dipisahkan sedangkan menurut Daliar Noor berpendapat bahwa
intervensi negara/pemerintah dalam masalah agama sebatas lingkup administrasi
(Hamidi, 2001). Pendapat senada dikemukakan oleh Jazim Hamidi dan M. Husnu
Abadi (2001) yang menyatakan intervensi negara atau pemerintah terhadap agama
terbatas pada masalah administrasi belaka meliputi: fasilitas, sarana dan
prasarana. Jadi bukan pada materi agamanya atau dengan kata lain negara tidak
mencampiri dan tidak ingin mencampuri urusan syari’ah dan ibadah agama-agama di
Indonesia.
Pembangunan kehidupan beragama di
Indonesia bertujuan agar kehidupan beragama itu selalu menuju ke
arah yang positif dan menghindari serta mengurangi ekses-ekses negatif yang
akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan
pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama, terutama difokuskan pada
penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama, karena disinyalir bahwa
penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan antar umat beragama.
Sebagai realisasi dari kebijaksanaan
tersebut adalah terbitnya peraturan pemerintah antara lain, yaitu :
a.
Keputusan bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-pemeluknya.
b.
Keputusan Menteri Agama No. 70
dan 77 tentang Penyiaran dan Penyebaran Agama dan tentang Bantuan Asing Bagi
Lembaga Keagamaan di Indonesia.
c.
Keputusan Menteri Agama
Nomor:44 Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan Dakwah Agama dan Kuliah Subuh melalui
Radio
d.
Keputusan Bersama Bersama
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan
Penyiaran Agama dan bantuan Luar negeri Kepada lembaga keagamaan di Indonesia
e.
Surat Edaran
Menteri Agama No: MA/432/1981 perihal Penyelenggaraan Peringatan
Hari-hari Besar keagamaan
f.
Instruksi Menteri Agama RI Nomor
3 Tahun 1995 Tentang Tindak lanjut Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor. 01/BER/MDN-MAG/1969 di Daerah. Untuk mengatasasi ketegangan
hubungan antar ummat beragama yang sering terjadi di Indonesia pemerintah
dalam hal ini Departemen Agama juga menetapkan arah kehidupan intern dan
antar ummat beragama pada tiga bentuk yang
dikenal Tri Kerukunan yaitu: Kerukunan Hidup Intern Umat
Beragama, Kerukunan Hidup Antar Ummat Beragama dan Kerukunan Hidup antar ummat
Beragama dengan Pemerintah.
g.
Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, (Latifah, 2011: 2).
Banyaknya aturan pemerintah
dalam mengatur kehidupan beragama tersebut selain berdampak positif yaitu
mengurangi potensi konflik antar agama sekaligus juga menunjukkan seberapa jauh
campur tangan pemerintah dalam mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Adanya
campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama tersebut memunculkan berbagai
persoalan yang dianggap merugikan hak hidup masing-masing agama.
5. Dialog
Antar Umat Beragama
melalui Forum Kerukunan Umat Beragama
Menyadari akan realitas
multikultural yang ada dan belajar dari pengalaman sejarah masa lalu serta
berbagai kejadian di beberapa daerah, maka wadah kerjasama yang kemudian
dikukuhkan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menjadi
sangat penting untuk direalisasikan di daerah, dalam bentuk Forum
Kerukunan Umat Beragama atau FKUB.
Sebagai organisasi kemasyarakatan
yang berbasis pada pemuliaan nilai-nilai agama, FKUB memiliki peran dan fungsi
yang sangat strategis dalam berperan serta membangun daerah masing-masing
ditengah krisis multidimensional yang tengah terjadi. Disadari bahwa krisis
multidimensional telah membawa dampak yang bersifat multidimensional pula.
Krisis ekonomi, politik dan moral, berimplikasi pada ketegangan sosial, stress
sosial, merenggangnya kohesi sosial bahkan prustasi sosial, begitupun terhadap dekadensi
moral. Fenomena
ini secara fsikologis dan sosiologis berpengaruh terhadap sikap dan prilaku
sosial dikalangan umat beragama. Terjadinya konflik sosial, meningkatnya angka
bunuh diri, merajalelanya korupsi merupakan persoalan serius yang harus
dicarikan solusinya. Peran tokoh agama yang diharapkan dapat memberikan
pencerdasan spiritual menjadi sangat penting.
Untuk itu ada dua peran yang paralel
yang dapat dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama: forum hendaknya dapat
menjadi jembatan penghubung di internal umat masing-masing. Artinya, masing-masing agama secara
vertikal
memiliki keyakinan, cara, etika, susila yang dimiliki dan bersifat hakiki. Hal
ini merupakan pembeda antara agama yang satu dengan yang lainnya yang harus
dihormati. Oleh karena itu FKUB melalui perwakilan di masing-masing agama harus
dapat menularkan kerukunan di internal umat, dan menjaga aspek sakralisasi
pelaksanaan tradisi keberagamaan masing-masing dengan tetap berpegang pada
kaidah agama.
Secara horizontal, disamping dintern,
maka dalam perspektif sosiologi agama, hubungan yang bersifat sosial dengan
umat beragama lainnya perlu dijaga dan dikembangkan. Dalam konteks inilah FKUB
dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai :
1. Sebagai wahana komunikasi,
interaksi antara satu dengan yang lainnya dalam memberikan informasi terhadap
tafsir agama masing-masing, sehingga tercipta suasana saling memahami dan
saling menghormati,
2. Sebagai wahana memediasi setiap persoalan yang mengarah pada terjadinya konflik baik
yang bersifat laten maupun manifest.
3. Sebagai media harmonisasi
hubungan satu dengan yang lain dalam mengkomunikasikan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan keagamaan.
4. Melakukan sosialisasi kepada
masing-masing umat beragama agar dalam kehidupan sosial tidak bersifat
eksklusif sehingga dapat terbangun kohesi sosial dikalangan umat beragama.
5. Membantu pemerintah daerah
dalam menyukseskan program-program pembangunan.
6.
Bersama-sama pemerintah dan
aparat keamanan
ikut menjaga iklim sosial dan politik yang kondusif. Dan tentunya banyak hal
lagi yang dapat dikerjakan dengan selalu bersinergi dengan kekuatan-kekuatan
sosial yang ada di daerah, (Wisnumurti, 2011: 3).
Sumber Bacaan :
Asyari Nur. 2008. Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama. (online) Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=355 (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Basuni,
Maftuh. 2008. LDII Hadiri Seminar
Kerukunan Kerumunan Umat Beragama. (online) Tersedia: http://ldii.info/ldii-hadiri-seminar-kerukunan-umat-beragama.html. (diakses tanggal 09 Desember
2012).
Chayu.
2012. Toleransi Antar Umat Beragama.
(online) tersedia: http://chayu-21.com/2012/03/toleransi-antar-umat-beragama.html (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Dirjen
Kesatuan Bangsa dan Politik. 2006. Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Jakarta.
Daradjat,
Zakiah. 1969. Peranan Agama dalam
Kesehatan Mental. Jakarta: Toko Gunung Agung.
Ghalidan.
2010. Kerukunan Antar Umat Beragama. (online) tersedia: http://galihdanary.wordpress.com/2010/12/02/kerukunan-antar-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Ghazali,
Adeng M. 2004. Ilmu Studi Agama.
Bandung: Pustaka Setia.
Irwansyah.
2008. Analisis tentang Kerukunan Umat
Beragama. (online) Tersedia: http://jariksumut.wordpress.com/2008/06/22/analisis-tentang-kerukunan-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Imarah,
Muhammad, 1999. Islam dan Pluralitas.
Jakarta: Gema Insani.
Iskandar,
2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada.
Lathifah,
Jasmin. 2011. Kebijakan Pemerintah
Tentang Kehidupan Beragama (online) Tersedia: http://haniy-th.com/2011/11/kebijakan-pemerintah-tentang-kehidupan-beragama.html
(diakses tanggal 09 Desember 2012).
Madjid,
Nurcholis. 2011. (online) tersedia: http://www.scribd.com/doc/56983081/
makalah-pluralisme (diakses
tanggal 09 Desember 2012).
Moleong,
2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ocw.
2011. Kerukunan Umat Beragama. (online)
tersedia: http://ocw.gunadarma.ac.id/
course/psychology/study-program-of-psychology-s1/pendidikan-agama-islam/kerukunan-umat-beragama.
(diakses tanggal 09 Desember 2012).
Qyonglee.
2010. Kesadaran Beragama. (online)
tersedia: http://qyonglee.multiply.com/
journal/item/32?&showinterstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
(diakses tanggal 09 Desember 2012).
Sugiyono,
2009. Metode Penelitian Bisnis.
Bandung: Alfa Beta.
Setabasri.
2012. Indonesia adalah Masyarakat Majemuk.
(online) Tersedia: http://setabasri01.com/2012/04/indonesia-adalah-masyarakat-majemuk.html (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Saputera,
Agus. 2008. Kebijakan
dan Strategi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.
(online)
Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&
id=499 (diakses tanggal 09 Desember
2012).
Satria. 2012. Pengertian Pluralisme. (online) Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2308560-pengertian-pluralisme/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Taher,
Tarmizi. 2012. Mengargai Kemajemukan.
(online) tersedia: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=304012 (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Vidiana,
Jeny P. 2009. Toleransi Antar Umat
Beragama. (online) Tersedia: http://tafany.wordpress.com/2009/06/12/toleransi-antar-umat-beragama/ (diakses tanggal 09 Desember 2012).
Wisnumurti. A.A.G.O. 2011.
Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama Dalam Memelihara dan Memantapkan
Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Tabanan. (online) tersedia: http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/63-peranan-forum-kerukunan-umat-beragama-dalam-memelihara-dan-memantapkan-kerukunan-umat-beragama-di-kabupaten-tabanan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar