POLA ASUH OTORITER DENGAN
PEMBENTUKAN CITRA DIRI
![]() | |
Pusing saya kalau tiap hari dimarah teruss...... ampun mom and dad..... |
A. Citra Diri
1. Pengertian Citra Diri
Menurut Hurlock
(2001) citra diri merupakan gambaran seseorang tentang dirinya
secara keseluruhan, baik yang tercermin dari dalam dirinya (seperti kompetensi,
karakter, nilai) maupun tampilan luarnya (penampilan, sikap, bahasa tubuh).
Walter Doyle Staples (1984) menyebutkan
bahwa citra diri adalah “Sistem keyakinan yang telah kita terima mengenai diri
kita sendiri dan bayangan-bayangan pemikiran setara yang dihasilkannya.” Lebih
lanjut dikatakan bahwa, pengembangan citra diri sebagai sarana untuk
memperbaiki unjuk kerja pribadi. Bahwa orang gagal karena citra diri yang
berorientasi pada kegagalan, bukan karena kurang mampu. Dicontohkan bagaimana
harapan-harapan keyakinan negatif sebelumnya membangun ‘hambatan mental,’
dengan meyakinkan orang terlebih dahulu bahwa mustahil bagi mereka dengan
‘keterbatasan-keterbatasan’ mereka, untuk berhasil.
![Text Box: 8](file:///C:%5CUsers%5Cuser%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image001.png)
Citra diri
adalah anggapan yang tertanam di dalam fikiran bawah sadar seseorang tentang
dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam fikiran bawah sadar oleh
pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja
ditanamkan oleh fikiran sadar. Citra diri ada yang bersifat positif
dan membangun, adapula yang bersifat negatif dan merusak. Citra diri positif
akan membawa seseorang pada kehidupan sukses dan bahagia dunia akhirat,
sebaliknya citra diri negatif akan menghancurkan kehidupan seseorang dan
membawanya pada kesengsaraan hidup didunia dan akhirat (Fadhilza, 2008).
Menurut Arief (2013) self image (citra diri) adalah “Apa penilaian saya terhadap diri
saya sendiri”. Hal ini sangatlah penting bagi seorang anak. Bagaimana seorang
anak menilai dirinya sendiri sangatlah menentukan banyak hal dalam pencapaian
mereka di masa mendatang. Penilaian orang lain terhadap dirinya, tidaklah
sepenting apa penilaian anak tentang dirinya sendiri. Kehidupan seorang anak
sangat bergantung kepada citra diri yang terbentuk.
Lebih lanjut Kusuma (2013) menyebutkan Citra diri
seseorang dibentuk oleh pola asuh orang tua serta lingkungan tempatnya
dibesarkan, dan akan berkembang sejalan dengan proses pendewasaannya. Seorang
anak yang dibesarkan dengan penuh cinta dari orang tuanya akan mampu
mengembangkan diri secara maksimal sehingga ia punya citra diri yang positif.
Sebaliknya, seorang anak yang cerdas namun karena tidak mendapat perhatian atau
reward positif dari oleh orang tua atau orang-orang penting di
sekitarnya, bisa jadi memiliki citra diri yang negatif.
Dari beberapa defenisi di atas maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa citra diri adalah tentang bagaimana kualitas seseorang
ketika memandang dirinya sendiri dalam merespon dunia luar (peristiwa,
pengalaman, maupun informasi).
2. Komponen dan Unsur Pembentuk Citra Diri
Middlebrook dalam Shinta, (2002: 65) menyebutkan bahwa
citra diri yang ada pada individu mempunyai 3 komponen, yaitu:
a.
Keadaan fisik kita yang kasat mata
dan unik.
b.
Pandangan kita tentang keadaan
psikhis diri sendiri (cara kita memandang diri sendiri).
c.
Tanggapan dari orang lain.
d.
Keinginan diri yang ideal.
Menurut Menurut Jefkins (1995) unsur-unsur yang membentuk citra diri :
a.
Keluarga, dari orang tua, menerima pengaruh
keturunan terhadap kepribadian.
b.
Masyarakat, media-media yang menyediakan
berbagai macam informasi serta norma yang berlaku di masyarakat umum
mempengaruhi pola pikir dan perilaku kita yang berdampak pada pembentukan
konsep diri.
c.
Teman sebaya, ungkapan-ungkapan yang digunakan yang
digunakan, perlakuan dan penilaian oleh teman menjadi acuan dalam menilai diri
sendiri.
d.
Pengalaman dalam kehidupan selanjutnya,
Menurut Fadhilza (2008: 1) citra diri
memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang, antara lain:
a.
Citra diri
merupakan blueprint kehidupan
seseorang, ia akan menjalani kehidupannya sesuai gambaran mental yang ada dalam
citra dirinya
b.
Gambaran mental
pada fikiran bawah sadar seseorang cenderung menjelma kealam nyata.
c.
Kiprah
seseorang dibatasi oleh citra dirinya, ia tidak akan pernah melampaui batasan
batasan yang tergambar dalam fikiran bawah sadarnya.
d.
Citra diri negatif membawa seseorang
pada kehancuran.
e.
Citra diri positif membawa seseoran
pada kemenangan dan keberhasilan.
f.
Citra diri negatif menarik unsur
negatif kedalam kehidupan seseorang.
g.
Citra diri positif menarik unsur
positif kedalam kehidupan seseorang.
3. Citra Diri Negatif
Citra diri negatif adalah gambaran serta anggapan
seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat negatif. Citra diri negatif
tertanam didalam diri seseorang akibat pangaruh lingkungan, orang lain atau
pengalaman masa lalu yang membekas dalam dirinya. Di daerah yang lingkungan
hidupnya miskin para orang tua menanamkan fikiran negatif terhadap putra
putrinya. Ketika anak menyampaikan cita-citanya maka orang tua selalu
merendahkannya. Jika ucapan orang tua yang berulang-ulang itu terekam dalam
fikiran bawah sadar sianak secara mendalam, maka ucapan tersebut telah
membentuk citra diri si anak.
a. Ciri-ciri
citra diri negatif
Tanda tanda orang yang mempunyai citra diri negatif secara umum antara
lain:
1)
Merasa rendah diri, menganggap diri
tidak berguna dan tidak berarti ditengah masyarakat. Merasa keberadaannya tidak
dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungan.
2)
Merasa tidak
pantas atau berhak memiliki atau mendapatkan sesuatu.
3)
Merasa terlalu
muda atau tua untuk melakukan sesuatu.
4)
Merasa dibenci
dan tidak disukai oleh lingkungan dan orang disekitarnya.
5)
Merasa tidak
mampu dan selalu khawatir mendapat kegagalan dan cemoohan dari orang
disekelilingnya.
6)
Merasa kurang pendidikan
dibandingkan orang lain.
7)
Kurang memiliki dorongan dan
semangat hidup, tidak berani memulai sesuatu hal yang baru, selalu khawatir
berbuat salah dan ditertawakan orang (Fadhilza, 2008: 4).
4. Citra diri positif
Citra diri positif adalah anggapan atau gambaran seseorang
tentang dirinya sendiri yang bersifat positif. Umumnya sejak anak-anak orang
tua mereka telah menanamkan nilai-nilai positif kedalam fikiran si anak. Orang
yang mempunyai citra diri positif mempunyai semangat hidup dan semangat juang
yang tinggi. Ia mempunyai cita-cita dan gambaran yang jelas tentang masa
depannya. Ia merasakan dirinya sangat bersemangat, optimis dan yakin pada
setiap yang dikerjakan. Citra diri positif menjadi blueprint kehidupannya,
dunia seolah-olah tunduk padanya, sukses demi sukses diraih dengan berjalannya
waktu.
a. Ciri-ciri
citra diri positif
Orang-orang dengan citra diri positif memiliki ciri sebagai berikut:
1) Mempunyai
gambaran yang jelas tentang masa depannya.
2) Optimis
mengarungi kehidupan.
3) Yakin
dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4) Penuh
harapan dan yakin dapat meraih kehidupan yang lebih baik.
5) Segera
bangkit dari kegagalan dan tidak larut dalam duka berkepanjangan.
6) Tidak
ada hal yang tidak mungkin.
8)
Penuh rasa percaya diri. (Fadhilza, 2008: 5).
5. Membentuk Citra Diri Positif
Mengubah citra diri negatif menjadi citra diri positif bukanlah hal
mudah, banyak dibutuhkan usaha yang gigih dan sungguh-sungguh. Sebagian orang
sejak masa kanak-kanak sudah ditanamkan citra diri negatif dalam fikiran bawah
sadarnya. Seseorang yang memiliki citra diri positif akan mendapat berbagai
manfaat, baik yang akan berdampak positif bagi duri sendiri maupun orang lain. Berikut
ini hal-hal yang harus dilakukan untuk membentuk citra diri yang positif:
a.
Persiapan
Salah
satu cara membangun citra diri positif adalah melalui persiapan. Dengan
persiapan yang cukup, menjadi lebih yakin akan kemampuan untuk meraih sukses.
b. Berpikir Unggul
Untuk
membangun citra diri yang positif, kita harus berpikir unggul. Cara berpikir
unggul seperti ini akan mendorong untuk senantiasa berusaha menghasilkan karya
terbaik.
c. Belajar Berkelanjutan
Selain
melalui persiapan yang tepat serta berpikir unggul, citra diri positif juga
bisa dibangun melalui komitmen pada pembelajaran berkelanjutan. Hasil belajar
akan membawa perubahan positif dengan menambah nilai bagi orang yang berhasil
mendapatkan pengetahuan ataupun keterampilan baru, yang bisa dijadikannya modal
untuk maju meraih sukses (Yogiyatno, 2006: 2).
B. Pola Asuh Otoriter
1. Pengertian Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter menurut David
dalam Shochib (1997: 19) adalah orang tua yang lebih menekankan kekuasaan
dibanding relasi. Anak merasa seakan-akan orang tua mempunyai buku peraturan,
ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua
bertindak sebagai bos dan pengawas tinggi dan anak-anak tidak memiliki
kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”.
Menurut Baumind dalam Santrock
(2003: 185) pola asuh otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat
menghukum yang mendesak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Lebih lanjut Baumind menjelaskan dalam
Clarke-Stewart dan Friedman dalam Khrisma
(2011: 21) pola asuh otoriter yang menetapkan standar mutlak yang harus
dituruti. Kadang kala disertai dengan ancaman, misalnya kalau tidak mau makan,
tidak akan diajak bicara atau bahkan dicubit. Orang tua seperti itu akan
membuat anak tidak percaya diri, penakut, pendiam, tertutup, tidak
berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan
seringkali menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Menurut Berkowitz dalam Khrisma (2011:
22) orang tua otoriter cenderung memaksa anaknya mengikuti aturan mereka secara
kaku, tetapi mereka tidak menjelaskan aturan itu secara jelas. Mereka keras dan
suka menghukum dalam menerapkan disiplin, dan mereka mudah marah jika
anak-anaknya menentangnya.
Menurut Gunarsa (2000: 85), pola asuh otoriter yaitu
pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus
ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak
mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan
akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi
kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya.
Gaya pengasuhan ini menempatkan
orang tua sebagai pusat dan pemegang kendali (Sunarti, 2004 : 118). Menurut
Surbakti (2009: 43) pola asuh otoritarian sangat menekankan pada kekuasaan
tanpa kompromi sehingga menimbulkan korban sia-sia. Bagi orang tua yang
menganut pola asuh otoriter segala sesuatu diterapkan berdasarkan instruksi
dari atas (orang tua) ke bawah (anggota keluarga). Pola komunikasinya cenderung
satu arah (monolog) karena penganut paham otoriter tidak mengenal dialog.
Meskipun pola asuh otoriter ini anak-anak bahkan seisi rumah tertekan, namun
dalam kenyataan sehari-hari masih terlalu banyak kepala keluarga yang
mengendalikan rumah tangganya dengan kekerasan dan kekejaman sehingga anggota
keluarga mereka terluka baik fisik maupun psikis.
Menurut Solihin (2004: 134) sikap
otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan
disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan
sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua.
Di samping itu, menurut Watson
dalam Solihin (2004: 134) tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak
dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Hal yang paling
penting adalah bahwa kehidupan seorang anak hendaknya tidak diatur oleh
kebutuhan orang tua dan menjadikan anak sebagai obyek untuk kepentingan orang
tua. Efisiensi menurut konsep orang tua ini akan mengeringkan potensi anak,
menghambat perkembangan emosional anak, serta menelantarkan minat anak.
Temperamen orang tua, terutama
dari ayah, yang sifatnya meledak-ledak, disertai tindakan sewenang-wenang dan
kriminil itu tidak hanya memberikan sifat temperamentnya tetapi juga
menimbulkan iklim demoralisasi psikis pada lingkungannya. Selain itu juga
merangsang reaksi-reaksi emosional yang sangat impulsif pada anak. Pengaruh ini
makin memperburuk jiwa anak sehingga berakibat mudah membangkitkan pola
kriminil pada anak (Kartono, 1986: 225).
Dinamika psikologis orang tua yang
otoriter kemungkinan disebabkan karakteristiknya yang dominan atau karena
berpegang pada tradisi lama (bahwa orang tua berkuasa penuh atas anak). Mungkin
juga karena memiliki harapan tertentu kepada anak dan mengalami ketegangan
tersendiri karena harapan yang terlalu tinggi (Gunarsa, 2000: 87).
Dari defenisi-defenisi di atas
dapat dirumuskan pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat
pemaksaan, keras, dan kaku dimana orang tua akan membuat berbagai aturan yang
“saklek” harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak.
Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan
yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukum mental dan fisik akan sering diterima
oleh si anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta
menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Sebagai akibat dari sikap
otoriter ini adalah anak menunjukkan sikap pasif dan menyerahkan segalanya
kepada orang tua. Kemungkinan terburuk akibat pola asuh otoriter ini dapat
membangkitkan pola kriminil pada anak.
2. Ciri-ciri Pola Asuh Otoriter
Menurut Hurlock (1992: 126) orang
tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan:
a. Orang
tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberikan penjelasan
tentang alasannya.
b. Apabila
anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak
diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman
diterima anak.
c. Pada
umumnya hukuman berwujud hukuman fisik.
d. Orang
tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah, baik yang berupa kata-kata
maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan
orang tua.
Menurut Berkowitz dalam Khrisma (2011: 25) gaya orang tua
otoriter adalah:
a. Menetapkan
aturan yang kaku.
b. Tidak
menerangkan aturan dengan jelas.
c. Menerapkan
disiplin dengan keras, suka menghukum
d. Kurang
hangat dan dekat
e. Bersikap
marah dan tidak senang
Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Fatimah (2006: 151) adalah:
a. Kurang
memberikan perhatian pada anak.
b. Suka
mengkritik.
c. Sering
memarahi anak.
d. Jika
anak berbuat baik, tidak pernah memberikan pujian.
e. Tidak
pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau menunjukkan ketidak
percayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan
kebergantungan.
Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Baumind (dalam
Santrock, 2003: 185).
a. Membuat
batasan
b. Lebih
cenderung menggunakan hukuman/punishment agar sang anak menurut apa yang
diperintahkan.
c. Adanya
pemberlakuan aturan.
d. Komunikasi
verbal yang sangat minim.
e. Adanya
ketegasan.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan secara
umum ciri-ciri pola asuh otoriter ada enam yaitu: orang tua cenderung
menetapkan aturan yang kaku dan batasan-batasan yang jelas, orang tua selalu
menentukan apa yang harus dilakukan onek anak tanpa memberikan alasan yang
jelas, orang tua akan memberi hukuman fisik dan psikis bila anak melanggar
sehingga anak merasa terancm, adanya kesenjangan antara orang tua dan anak
akibat minimnya berkomunikasi dengan anak, orang tua kurang peta terhadap
kebutuhan anak, orang tua jarang memberikan reward pada anak baik dalam bentuk
kata-kata maupun benda bila anak berbuat sesuatu yang diharapkan orang tua.
C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dengan
Pembentukan Citra Diri
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang
bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orang tua akan membuat berbagai
aturan yang “saklek” harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan
sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak
sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya (Godam, 2008: 1).
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh
anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta
menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik
asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam
ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua,
dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orang tua
otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua,
lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
Citra diri senantiasa terkait dengan proses tumbuh
kembang anak berdasarkan pola asuh dalam membesarkannya (Daryati R,2009). Citra diri adalah anggapan yang tertanam di dalam
fikiran bawah sadar seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam
dalam fikiran bawah sadar oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan,
pengalaman masa lalu atau sengaja ditanamkan oleh fikiran sadar. Citra diri ada
yang bersifat positif dan membangun, adapula yang bersifat negatif dan merusak.
Citra diri positif akan membawa seseorang pada kehidupan sukses dan bahagia,
sebaliknya citra diri negatif akan menghancurkan kehidupan seseorang (Fadhilza,
2008: 1).
Demikian sedikit tinjauan dari saya, semoga bermanfaat. Terima kasih
Daftar pustaka nya tidak ada kah?
BalasHapusFadhilza itu jurnal atau buku ya?
Terima kasih
Daftar pustaka nya tidak ada kah?
BalasHapusFadhilza itu jurnal atau buku ya?
Terima kasih