Sabtu, 18 Januari 2014

Pola Asuh Otoriter dengan Pembentukan Citra Diri


POLA ASUH OTORITER DENGAN 
PEMBENTUKAN CITRA DIRI


Pusing saya kalau tiap hari dimarah teruss...... ampun mom and dad.....
  A.   Citra Diri
1.    Pengertian Citra Diri
Menurut Hurlock (2001) citra diri merupakan gambaran seseorang tentang dirinya secara keseluruhan, baik yang tercermin dari dalam dirinya (seperti kompetensi, karakter, nilai) maupun tampilan luarnya (penampilan, sikap, bahasa tubuh).
Walter Doyle Staples (1984) menyebutkan bahwa citra diri adalah “Sistem keyakinan yang telah kita terima mengenai diri kita sendiri dan bayangan-bayangan pemikiran setara yang dihasilkannya.” Lebih lanjut dikatakan bahwa, pengembangan citra diri sebagai sarana untuk memperbaiki unjuk kerja pribadi. Bahwa orang gagal karena citra diri yang berorientasi pada kegagalan, bukan karena kurang mampu. Dicontohkan bagaimana harapan-harapan keyakinan negatif sebelumnya membangun ‘hambatan mental,’ dengan meyakinkan orang terlebih dahulu bahwa mustahil bagi mereka dengan ‘keterbatasan-keterbatasan’ mereka, untuk berhasil.
Text Box: 8Citra diri adalah gambaran tentang diri sendiri (Cremer dan Siregar, 1993: 143-145). Citra diri dapat kita gambarkan sebagai cermin diri. Yaitu apa saja gambaran seorang anak terhadap dirinya sendiri. Setiap persepsi anak tentang dirinya, selain berasal dari pendapatnya sendiri juga sangat dipengaruhi oleh pendapat orang lain tentang dirinya, khususnya para guru dan orang tua mereka.
Citra diri adalah anggapan yang tertanam di dalam fikiran bawah sadar seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam fikiran bawah sadar oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja ditanamkan oleh fikiran sadar. Citra diri ada yang bersifat positif dan membangun, adapula yang bersifat negatif dan merusak. Citra diri positif akan membawa seseorang pada kehidupan sukses dan bahagia dunia akhirat, sebaliknya citra diri negatif akan menghancurkan kehidupan seseorang dan membawanya pada kesengsaraan hidup didunia dan akhirat (Fadhilza, 2008).
Menurut Arief (2013) self image (citra diri) adalah “Apa penilaian saya terhadap diri saya sendiri”. Hal ini sangatlah penting bagi seorang anak. Bagaimana seorang anak menilai dirinya sendiri sangatlah menentukan banyak hal dalam pencapaian mereka di masa mendatang. Penilaian orang lain terhadap dirinya, tidaklah sepenting apa penilaian anak tentang dirinya sendiri. Kehidupan seorang anak sangat bergantung kepada citra diri yang terbentuk.
Lebih lanjut Kusuma (2013) menyebutkan Citra diri seseorang dibentuk oleh pola asuh orang tua serta lingkungan tempatnya dibesarkan, dan akan berkembang sejalan dengan proses pendewasaannya. Seorang anak yang dibesarkan dengan penuh cinta dari orang tuanya akan mampu mengembangkan diri secara maksimal sehingga ia punya citra diri yang positif. Sebaliknya, seorang anak yang cerdas namun karena tidak mendapat perhatian atau reward positif dari oleh orang tua atau orang-orang penting di sekitarnya, bisa jadi memiliki citra diri yang negatif.
Dari beberapa defenisi di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa citra diri adalah tentang bagaimana kualitas seseorang ketika memandang dirinya sendiri dalam merespon dunia luar (peristiwa, pengalaman, maupun informasi).  

2.    Komponen dan Unsur Pembentuk Citra Diri
Middlebrook dalam Shinta, (2002: 65) menyebutkan bahwa citra diri yang ada pada individu mempunyai 3 komponen, yaitu:
a.       Keadaan fisik kita yang kasat mata dan unik. 
b.      Pandangan kita tentang keadaan psikhis diri sendiri (cara kita memandang diri sendiri). 
c.       Tanggapan dari orang lain.
d.      Keinginan diri yang ideal.
Menurut Menurut Jefkins (1995) unsur-unsur yang membentuk citra diri :
a.       Keluarga, dari orang tua, menerima pengaruh keturunan terhadap kepribadian.
b.      Masyarakat, media-media yang menyediakan berbagai macam informasi serta norma yang berlaku di masyarakat umum mempengaruhi pola pikir dan perilaku kita yang berdampak pada pembentukan konsep diri.
c.       Teman sebaya, ungkapan-ungkapan yang digunakan yang digunakan, perlakuan dan penilaian oleh teman menjadi acuan dalam menilai diri sendiri.
d.      Pengalaman dalam kehidupan selanjutnya,  
Menurut Fadhilza (2008: 1) citra diri memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang, antara lain:
a.       Citra diri merupakan blueprint kehidupan seseorang, ia akan menjalani kehidupannya sesuai gambaran mental yang ada dalam citra dirinya
b.      Gambaran mental pada fikiran bawah sadar seseorang cenderung menjelma kealam nyata.
c.       Kiprah seseorang dibatasi oleh citra dirinya, ia tidak akan pernah melampaui batasan batasan yang tergambar dalam fikiran bawah sadarnya.
d.      Citra diri negatif membawa seseorang pada kehancuran.
e.       Citra diri positif membawa seseoran pada kemenangan dan keberhasilan.
f.       Citra diri negatif menarik unsur negatif kedalam kehidupan seseorang.
g.      Citra diri positif menarik unsur positif kedalam kehidupan seseorang.

3.    Citra Diri Negatif
Citra diri negatif adalah gambaran serta anggapan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat negatif. Citra diri negatif tertanam didalam diri seseorang akibat pangaruh lingkungan, orang lain atau pengalaman masa lalu yang membekas dalam dirinya. Di daerah yang lingkungan hidupnya miskin para orang tua menanamkan fikiran negatif terhadap putra putrinya. Ketika anak menyampaikan cita-citanya maka orang tua selalu merendahkannya. Jika ucapan orang tua yang berulang-ulang itu terekam dalam fikiran bawah sadar sianak secara mendalam, maka ucapan tersebut telah membentuk citra diri si anak.
a.        Ciri-ciri citra diri negatif
Tanda tanda orang yang mempunyai citra diri negatif secara umum antara lain:
1)      Merasa rendah diri, menganggap diri tidak berguna dan tidak berarti ditengah masyarakat. Merasa keberadaannya tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungan.
2)      Merasa tidak pantas atau berhak memiliki atau mendapatkan sesuatu.
3)      Merasa terlalu muda atau tua untuk melakukan sesuatu.
4)      Merasa dibenci dan tidak disukai oleh lingkungan dan orang disekitarnya.
5)      Merasa tidak mampu dan selalu khawatir mendapat kegagalan dan cemoohan dari orang disekelilingnya.
6)      Merasa kurang pendidikan dibandingkan orang lain.
7)      Kurang memiliki dorongan dan semangat hidup, tidak berani memulai sesuatu hal yang baru, selalu khawatir berbuat salah dan ditertawakan orang (Fadhilza, 2008: 4).
4.    Citra diri positif
Citra diri positif adalah anggapan atau gambaran seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat positif. Umumnya sejak anak-anak orang tua mereka telah menanamkan nilai-nilai positif kedalam fikiran si anak. Orang yang mempunyai citra diri positif mempunyai semangat hidup dan semangat juang yang tinggi. Ia mempunyai cita-cita dan gambaran yang jelas tentang masa depannya. Ia merasakan dirinya sangat bersemangat, optimis dan yakin pada setiap yang dikerjakan. Citra diri positif menjadi blueprint kehidupannya, dunia seolah-olah tunduk padanya, sukses demi sukses diraih dengan berjalannya waktu.
a.    Ciri-ciri citra diri positif
Orang-orang dengan citra diri positif memiliki ciri sebagai berikut:
1)      Mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depannya.
2)      Optimis mengarungi kehidupan.
3)      Yakin dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4)      Penuh harapan dan yakin dapat meraih kehidupan yang lebih baik.
5)      Segera bangkit dari kegagalan dan tidak larut dalam duka berkepanjangan.
6)      Tidak ada hal yang tidak mungkin.
8)      Penuh rasa percaya diri. (Fadhilza, 2008: 5).

5.    Membentuk Citra Diri Positif
Mengubah citra diri negatif menjadi citra diri positif bukanlah hal mudah, banyak dibutuhkan usaha yang gigih dan sungguh-sungguh. Sebagian orang sejak masa kanak-kanak sudah ditanamkan citra diri negatif dalam fikiran bawah sadarnya. Seseorang yang memiliki citra diri positif akan mendapat berbagai manfaat, baik yang akan berdampak positif bagi duri sendiri maupun orang lain. Berikut ini hal-hal yang harus dilakukan untuk membentuk citra diri yang positif:
a.       Persiapan
Salah satu cara membangun citra diri positif adalah melalui persiapan. Dengan persiapan yang cukup, menjadi lebih yakin akan kemampuan untuk meraih sukses.
b.    Berpikir Unggul
Untuk membangun citra diri yang positif, kita harus berpikir unggul. Cara berpikir unggul seperti ini akan mendorong untuk senantiasa berusaha menghasilkan karya terbaik.
c.    Belajar Berkelanjutan
Selain melalui persiapan yang tepat serta berpikir unggul, citra diri positif juga bisa dibangun melalui komitmen pada pembelajaran berkelanjutan. Hasil belajar akan membawa perubahan positif dengan menambah nilai bagi orang yang berhasil mendapatkan pengetahuan ataupun keterampilan baru, yang bisa dijadikannya modal untuk maju meraih sukses (Yogiyatno, 2006: 2).

B.        Pola Asuh Otoriter
1.   Pengertian Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter menurut David dalam Shochib (1997: 19) adalah orang tua yang lebih menekankan kekuasaan dibanding relasi. Anak merasa seakan-akan orang tua mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tinggi dan anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”.
Menurut Baumind dalam Santrock (2003: 185) pola asuh otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Lebih lanjut Baumind menjelaskan dalam Clarke-Stewart dan Friedman  dalam Khrisma (2011: 21) pola asuh otoriter yang menetapkan standar mutlak yang harus dituruti. Kadang kala disertai dengan ancaman, misalnya kalau tidak mau makan, tidak akan diajak bicara atau bahkan dicubit. Orang tua seperti itu akan membuat anak tidak percaya diri, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan seringkali menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Menurut Berkowitz dalam Khrisma (2011: 22) orang tua otoriter cenderung memaksa anaknya mengikuti aturan mereka secara kaku, tetapi mereka tidak menjelaskan aturan itu secara jelas. Mereka keras dan suka menghukum dalam menerapkan disiplin, dan mereka mudah marah jika anak-anaknya menentangnya.
Menurut Gunarsa (2000: 85), pola asuh otoriter yaitu pola asuh di mana orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya.
Gaya pengasuhan ini menempatkan orang tua sebagai pusat dan pemegang kendali (Sunarti, 2004 : 118). Menurut Surbakti (2009: 43) pola asuh otoritarian sangat menekankan pada kekuasaan tanpa kompromi sehingga menimbulkan korban sia-sia. Bagi orang tua yang menganut pola asuh otoriter segala sesuatu diterapkan berdasarkan instruksi dari atas (orang tua) ke bawah (anggota keluarga). Pola komunikasinya cenderung satu arah (monolog) karena penganut paham otoriter tidak mengenal dialog. Meskipun pola asuh otoriter ini anak-anak bahkan seisi rumah tertekan, namun dalam kenyataan sehari-hari masih terlalu banyak kepala keluarga yang mengendalikan rumah tangganya dengan kekerasan dan kekejaman sehingga anggota keluarga mereka terluka baik fisik maupun psikis.
Menurut Solihin (2004: 134) sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua.
Di samping itu, menurut Watson dalam Solihin (2004: 134) tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Hal yang paling penting adalah bahwa kehidupan seorang anak hendaknya tidak diatur oleh kebutuhan orang tua dan menjadikan anak sebagai obyek untuk kepentingan orang tua. Efisiensi menurut konsep orang tua ini akan mengeringkan potensi anak, menghambat perkembangan emosional anak, serta menelantarkan minat anak.
Temperamen orang tua, terutama dari ayah, yang sifatnya meledak-ledak, disertai tindakan sewenang-wenang dan kriminil itu tidak hanya memberikan sifat temperamentnya tetapi juga menimbulkan iklim demoralisasi psikis pada lingkungannya. Selain itu juga merangsang reaksi-reaksi emosional yang sangat impulsif pada anak. Pengaruh ini makin memperburuk jiwa anak sehingga berakibat mudah membangkitkan pola kriminil pada anak (Kartono, 1986: 225).
Dinamika psikologis orang tua yang otoriter kemungkinan disebabkan karakteristiknya yang dominan atau karena berpegang pada tradisi lama (bahwa orang tua berkuasa penuh atas anak). Mungkin juga karena memiliki harapan tertentu kepada anak dan mengalami ketegangan tersendiri karena harapan yang terlalu tinggi (Gunarsa, 2000: 87).
Dari defenisi-defenisi di atas dapat dirumuskan pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras, dan kaku dimana orang tua akan membuat berbagai aturan yang “saklek” harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukum mental dan fisik akan sering diterima oleh si anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini adalah anak menunjukkan sikap pasif dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Kemungkinan terburuk akibat pola asuh otoriter ini dapat membangkitkan pola kriminil pada anak.

2.    Ciri-ciri Pola Asuh Otoriter
Menurut Hurlock (1992: 126) orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan:
a.       Orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya.
b.      Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak.
c.       Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik.
d.      Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah, baik yang berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan orang tua.
Menurut Berkowitz dalam Khrisma (2011: 25) gaya orang tua otoriter adalah:
a.       Menetapkan aturan yang kaku.
b.      Tidak menerangkan aturan dengan jelas.
c.       Menerapkan disiplin dengan keras, suka menghukum
d.      Kurang hangat dan dekat
e.       Bersikap marah dan tidak senang
Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Fatimah (2006: 151) adalah:
a.       Kurang memberikan perhatian pada anak.
b.      Suka mengkritik.
c.       Sering memarahi anak.
d.      Jika anak berbuat baik, tidak pernah memberikan pujian.
e.       Tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau menunjukkan ketidak percayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan kebergantungan.
Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Baumind (dalam Santrock, 2003: 185).
a.       Membuat batasan
b.      Lebih cenderung menggunakan hukuman/punishment agar sang anak menurut apa yang diperintahkan.
c.       Adanya pemberlakuan aturan.
d.      Komunikasi verbal yang sangat minim.
e.       Adanya ketegasan.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan secara umum ciri-ciri pola asuh otoriter ada enam yaitu: orang tua cenderung menetapkan aturan yang kaku dan batasan-batasan yang jelas, orang tua selalu menentukan apa yang harus dilakukan onek anak tanpa memberikan alasan yang jelas, orang tua akan memberi hukuman fisik dan psikis bila anak melanggar sehingga anak merasa terancm, adanya kesenjangan antara orang tua dan anak akibat minimnya berkomunikasi dengan anak, orang tua kurang peta terhadap kebutuhan anak, orang tua jarang memberikan reward pada anak baik dalam bentuk kata-kata maupun benda bila anak berbuat sesuatu yang diharapkan orang tua.

C.   Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dengan Pembentukan Citra Diri
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orang tua akan membuat berbagai aturan yang “saklek” harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya (Godam, 2008: 1).
Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
Citra diri senantiasa terkait dengan proses tumbuh kembang anak berdasarkan pola asuh dalam membesarkannya (Daryati R,2009). Citra diri adalah anggapan yang tertanam di dalam fikiran bawah sadar seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam fikiran bawah sadar oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja ditanamkan oleh fikiran sadar. Citra diri ada yang bersifat positif dan membangun, adapula yang bersifat negatif dan merusak. Citra diri positif akan membawa seseorang pada kehidupan sukses dan bahagia, sebaliknya citra diri negatif akan menghancurkan kehidupan seseorang (Fadhilza, 2008: 1).
Demikian sedikit tinjauan dari saya, semoga bermanfaat. Terima kasih

2 komentar:

  1. Daftar pustaka nya tidak ada kah?
    Fadhilza itu jurnal atau buku ya?
    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Daftar pustaka nya tidak ada kah?
    Fadhilza itu jurnal atau buku ya?
    Terima kasih

    BalasHapus